2captcha

2captcha

Sabtu, 23 Januari 2016

Cerpen: Negeri Ku Yang Damai

Share it Please

Negeri Ku Yang Damai

Cerpen Karangan:

Tahun 2075.
Aku seorang jenderal tua kerajaan Namira, negeri yang makmur, tidak ada pengangguran, negeri penuh ilmuan, sastrawan, dan hartawan. Para mahasiswa menyibukkan diri memproduksi berbagai alat dari perkakas rumah hingga peralatan perang canggih berenergi listrik dan surya. Bukti sebuah kemajuan yang tak pernah ku rasakan dulu di era 90an. Buah kelapa yang dulu di masaku hanya menjadi minuman, kini di negeriku buah itu menjadi peralatan perang, “Bom Atom.” Namora tak lagi provinsi, namun sudah menjadi kerajaan, dengan kepala negara Sultan Muhammad. Sultan yang adil lagi arif, Namira tidak berhukum kecuali dengan al Qur’an dan Hadits nabi.
Negeriku tak lagi mengimpor barang dari luar, negeri ini sudah mapan, padi tak lagi ditanam di sawah, benihnya cukup ditaburi di tanah dalam waktu 2 minggu sudah bisa dipanen. Sawah- sawah dan sungai-sungai yang dulu sering ku lihat sekarang menjadi pusat perkantoran bahkan disulap menjadi tempat wisata. Irigasi sudah dibuat di bawah tanah di samping rel kereta api. Kapal-kapal berminyak sudah tidak digunakan lagi, sudah diganti dengan kapal baja yang menggunakan energi matahari.
Tugas polisi di kerajaanku tak lagi jadi preman, bahkan mereka kini hanya pengatur lalu lintas yang dilewati mobil tak terinjak tanah. Aspal, tak lagi hitam berubah menjadi putih, bumi Aceh sudah memiliki lampu penerang yang terapung di awan tak basah hujan tak terbakar matahari. Pencuri malang tak ada lagi, hanya menjadi misteri, rakyatku terheran-heran sangat mendengar kata “pencuri.” yang katanya sadis sekali, merampok dengan segenap jiwa, merasai segenap harta.
Aku seorang tua berumur 190-an, Sultan sangat menghormatiku, karena jenggotku yang sudah putih atau mungkin karena aku seorang saksi sejarah kelabu negeriku? Itu menjadi pertanyaan, yang selalu muncul dalam pikiranku. Masa mudaku tak seperti ini, dulu perang di mana-mana, sampai aku tidak bisa sekolah karena takut dihantam peluru tentara. Hidupku sekarang tak lagi sama, rasa suka dukaku bersama kawan-kawan di medan perang hanya sebatas kisah. Sekarang aku hanya tua renta yang penuh dengan cerita, terkadang aku termenung sendiri mengingat masa-masa duka perjuangan dulu, kadang ku ceritakan pada kopral-kopral bawahanku, setiap ku ceritakan pasti mereka menitikkan air mata.
Dulu, pelajar dan mahasiswa memiliki tugas ekstra, tidak hanya belajar namun juga penuntut beasiswa, bahkan mereka juga penggerak masa, menentang rezim yang berkuasa. Demo di mana-mana, asap di mana-mana, sorakan juga memekakkan telinga, hantaman batu menghancurkan kaca-kaca, perang tidak hanya menggunakan senjata namun juga perang urat saraf. Sistem pemerintahan masih amburadul, pengeluaran dana besar-besaran namun hasil entah bagaimana.
Kisahku di tahun 1990.
Waktu itu aku berumur 17 tahun, tugasku sekolah yang benar dan jadi tentara, kadang waktuku lebih lama jadi tentara daripada jadi pelajar, darah sudah biasa ku lihat, air mata sudah biasa aku teteskan. Bagaimana tidak, kawanku terkapar mati di depanku, wanita banyak yang diperk*sa, pencurian di mana-mana, anak-anak banyak yang disiksa. Bagiku kami tidak hanya menghadapi tentara Indonesia tapi juga pengkhianat bangsa.
Lama kelamaan kawan-kawanku mulai goyang dengan perjuangan merebut kemerdekaan. Mereka mulai berpikir, kapan kita merdeka? Jenderal Abdullah mulai memberi semangat, “kita berjuang bersama, mati pun bersama, tidak hujan yang tidak reda, tidak ada perang yang tidak pernah usai.” Aku sedikit bingung dengan kata-kata itu, aku mulai jenuh dengan perjuangan, aku mulai menggerutu, berharap nyawaku cepat diambil, tak kuasa hidup dalam pelarian, di negeriku sendiri aku dikejar bagai maling. Padahal kami adalah penuntut keadilan sampai kami mendapatkan kemerdekaan.
Ku ceritakan semua ini pada Sultan Muhammad, ia terdiam tak menduga akan keadaan negerinya di zaman dahulu. “Namun bagaimana kau bisa bertahan sampai sekarang jenderal?” Sultan bertanya kepadaku. “Aku hanyalah makhluk, Sultan. Tuhanku masih mengizinkan aku untuk melihat gemilang negeriku, tidak ada kemajuan tanpa perjuangan, tidak ada kemerdekaan tanpa tetesan air mata dan darah.”
Sultan semakin terkejut, “aku merasa dirikulah yang menciptakan kemajuan ini, jenderal. Ternyata kalianlah pejuang sejati pencipta kedamaian.”
“Tidak Sultan, kami berjuang demi keadilan bukan demi kemajuan, kemajuan bukan segalanya Sultan, keadilan harga mati, tanpa keadilan hidup tak akan damai dan berarti.” Ku lihat Sultan mulai menitikkan air mata, perasaanku berkata, ia merasa bersalah dengan sejarah negerinya, karena ternyata kemajuan negerinya tidak dicapai dengan mudah, tapi dengan tetesan darah dan air mata pendahulunya.
“Aku tak mengira kalau negeriku begitu menderita, aku hanyalah penikmat saja, bukan pejuang, andai bisa ku kembali ke masa itu, aku akan berperang membunuh semua musuh yang ingin mengusik negeriku.” Kata Sultan dipenuhi dengan tetesan air mata. Belum pernah ku lihat seorang Sultan agung di masa yang penuh dengan kedamaian meneteskan air mata. Ku diam sejenak melihat ia terisak-isak, menunggu ia menghela. Kemudian ku lanjutkan.
“Sudahlah Sultan, tugasmu hanyalah mempertahankan kedamaian, bukan berandai-andai yang hanya akan menimbulkan murka Tuhan. Kerajaanmu sudah berdiri kokoh, kekuasaanmu sudah luas, namamu sudah dikenal seantero dunia, negara-negara kafir sudah mulai takut dengan kekuasaanmu, ku rasa itu sudah cukup mewakili perjuangan kami dulu.”
Sultan memelukku erat, air mata tak sanggup ia tahan, “terima kasih jenderal, jika kau terlebih dahulu meninggalkan dunia ini daripada aku, tolong sampaikan rasa terima kasihku yang sebesar-besarnya pada nenek moyangku, namun kalau aku terlebih dahulu meninggalkan dunia ini biarlah aku saja yang mencium kaki-kaki mereka sebagai rasa terima kasihku.”
“Baik Sultan.” Aku ikut meneteskan air mata, tak kuasa mendengarkan kata-kata seorang Sultan agung yang begitu bijaksana. Dalam hati aku berkata. “Terima kasih Tuhan atas nikmat yang kau berikan, engkau telah anugerahkan negeri yang penuh kedamaian, ditambah dengan Sultan yang arif yang menjadikan kitabmu sebagai pedoman.”
Sejak saat itu ku lihat Sultan mulai memasukkan kisah-kisah perjuangan bangsa dalam orasi maupun tulisan-tulisannya di media, dan selalu di akhir orasi maupun tulisannya diakhiri dengan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan, bukan hanya para penikmat kemakmuran.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow Me

Follow The Author