2captcha

2captcha

Minggu, 03 Juli 2016

PHOBIA

Share it Please
Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 30 June 2016

Sepi. Itulah hidup seorang gadis muda dalam kesendirian. Masa lalu, hari ini, dan esok diselimuti kabut hitam. Tak ada pencerahan, bahkan tak pernah ada. Sebuah ruangan gelap yang terkesan mistis bagi siapa saja yang memasukinya. Namun sepertinya tidak, itu ruangan yang begitu nyaman bagi si gadis. Dan tak banyak orang yang pernah menjejaki ruang kelam itu. Dara, sebuah nama yang indah, namun ternyata tak seindah hidupnya. Seorang gadis -yang sebenarnya manis- namun terlihat lusuh, kusam, dan kumal sepanjang harinya. Gadis yang takut akan keramaian, takut adanya manusia, dan lebih tenteram bila sendiri, melamun di jendela kamar gelapnya itu.
“Non Dara, ini makanannya.” Sebuah suara terdengar di luar pintu kamar. Dara segera bersembunyi di balik tempat tidur. Merapatkan lutut dan menutup wajahnya. Mbak Laima sudah terbiasa akan hal itu. Ia segera meletakkan makanan di tempat tidur dan buru-buru pergi. Sudah dua tahun terakhir Mbak Laima digaji untuk menemani Dara di rumah kecil itu. Orangtuanya mengasingkan gadis delapan belas tahun itu dan menjenguknya sebulan sekali. Dara berbeda dari gadis lainnya. Tidak ingin ditemui, takut kepada orang -bahkan Mamanya sendiri. Selalu melamun, bahkan tak jarang ia menangis dalam lamunannya itu, berteriak histeris tanpa sebab. Mbak Laima sudah terbiasa akan hal itu. Tak ada yang perlu dianehkan lagi.

“Heh, lo lelet banget, sih!” bentak kasar seorang siswi berseragam putih-biru.
“Iya tuh, bukannya cepet. Dasar siput!” balas yang satunya. Yang lain hanya diam dengan tatapan sinis.
Siswi SMP yang dibentak tak melakukan perlawanan. Ia perlahan menuju kursi kosong di samping keempat siswi lainnya.
“Hei, mau duduk ya? Tempat lo di bawah, tuh!” Seorang gadis mendorong Dara yang saat itu berusia empat belas tahun, tepatnya empat tahun silam.
Yang lain menarik rambutnya, menendangnya hingga kulit putihnya lecet. Teman-teman di kantin itu hanya diam dengan tatapan iba, tak ada yang kuasa menolong. Dara selalu disiksa, dicaci-maki oleh keempat siswi tersebut. Tapi ia tak pernah melawan, ia terlalu takut untuk mengadu, bahkan pada kedua orangtuanya sendiri. Mama dan Papanya terlalu sibuk, tak pernah memperhatikan Dara. Ia harus menanggung sakit itu sendiri.
“Marsha, Rina, Tiara, Elsi! Kalian apakan Dara? Kalian ini memang tidak ada kapok-kapoknya. Ikut saya ke ruang BK!” Pak Darma berkata tegas. Seisi kantin menoleh ke arah mereka berlima -termasuk Dara.
“Tapi, Pak! Kita cuma main biasa sama Dara,” Marsha mencoba perlawanan di ruang BK.
“Iya, pak. Lagi pula Dara baik-baik aja.”
“Diam kalian! Kali ini kalian harus hormat di depan tiang bendera selama dua jam!”
“Pak. Bapak lihat, dong siapa saya? Masa Bapak menghukum anak kepala sekolah?” ujar Marsha keberatan.
“Saya sudah memaafkan kalian tiga kali berturut-turut. Dan ini yang keempat kali, tidak akan ada maaf-maafan lagi! Cepat lakukan!!”
Dara sudah kehabisan kesabaran. Selama di rumah, ia selalu dihantui keempat temannya. Ia selalu ketakutan, bersembunyi, menjerit histeris, dan segala ketakutan yang menghantui pikirannya. Keputusan Dara untuk berhenti sekolah pun disampaikan. Sejak saat itu, Dara selalu berdiam di kamar, ketakutan, melamun, hingga ia tak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Marsha dan ketiga temannya tak berhenti di situ. Mereka masih mencari korban-korban lainnya semenjak Dara ke luar dari sekolah.
Orangtua Dara ke luar dari mobil. Namun kali ini diikuti oleh seorang wanita cantik dengan kacamatanya. Mereka bergegas masuk tanpa menghiraukan Mbak Laima yang sejak tadi berdiri di depan pintu. Wanita cantik itu memberi salam diiringi senyum naturalnya.
“Daraa,” panggil seorang wanita -yang terlihat seperti wanita karir- lalu membuka pintu kamar yang berderik.
Seperti biasa, Dara bersembunyi di balik tempat tidur. Ia tak berani mengangkat wajahnya sedikit pun.
“Dara, ini Mama, sayang,” Wanita itu mengangkat wajah Dara.
Namun Dara tidak dapat dikendalikan, ia terus ketakutan dan berkeringat dingin. Wanita muda berkacamata tadi menghampiri Dara dengan lembut. Mencoba memahami Dara, namun sulit.
Dara sulit diajak berbicara, ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Wanita berkacamata yang sejatinya psikolog itu dengan sabar memahami Dara. Ia mengajak Dara berbicara, dan memintanya menceritakan apa yang terjadi. Namun hasilnya nihil. Sesekali Dara menjerit ketakutan.
“Sedikit sulit, Pak, Bu. Ia tak mau berbicara, mengangkat wajahnya pun tidak,” Wanita itu keluar dengan raut kecewa.
“Tapi akan saya coba besok, biarkan Dara menenangkan pikirannya.”
Mereka pun pulang. Dan tinggallah Dara dengan ketakutannya lagi.
Pagi itu tetap cerah, seperti sebelumnya. Mbak Laima melanjutkan rutinitasnya lagi. Ia perlahan melangkah ke arah pintu yang berderik menyeramkan saat dibuka. Kali ini berbeda, Dara tidak bersembunyi seperti biasanya. Ia justru duduk di kursi tepat di bawah jendela. Dagunya ia tanamkan pada tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menjuntai ke bawah.
“Non Dara, ini sarapannya,” Mbak Laima seperti biasa meletakkan makanan di atas tempat tidur dan beranjak pergi. Namun tidak ada reaksi dari Dara. Mbak Laima mengulang ucapannya lagi, lagi, dan lagi. Dara tetap mematung. Mbak Laima dengan hati-hati mendekati Dara, menepuk bahunya.
“Aaaaaaaa!!!” Mbak Laima berteriak histeris. Tubuh itu tersungkur ke lantai. Pergelangan kirinya bersimbah darah. Mbak Laima segera berlari kesana-kemari. Entah apa yang akan dilakukannya. Ia lalu menggenggam gagang telepon dengan gemetar, menekan nomor telepon majikannya.
“Nyonya, Tuan, segera kemari.. Non Da..ra..” Mbak Laima tak dapat melanjutkan kata-katanya. Ia segera menutup telepon. Tubuhnya berkeringat dingin. Tak ada yang dapat dilakukannya. Ia duduk di teras depan sambil menggigit jari, menunggu majikannya datang.
Sepuluh menit. Dua puluh menit. Mama dan Papa Dara berlari ke luar dari mobil. Mbak Laima berjalan menuju kamar di mana Dara berada. Keringat kembali membasahi tubuhnya.
“Dara,” panggil Mamanya pelan. Namun raga itu tak lagi bergerak. Sekujur tubuhnya dingin. Mama Dara hanya dapat menangis, sedangkan Papanya masih sibuk menginterogasi Mbak Laima.

Serombongan orang berbaju hitam datang menuju rumah duka. Tak terkecuali psikolog yang seharusnya masih menangani Dara.
“Maaf, Bu. Saya belum dapat menangani anak Ibu,” Wanita berkacamata itu prihatin. Mama Dara hanya mengangguk pelan. “Dari pengamatan saya, anak Ibu mengidap phobia akibat trauma di masa lalu. Ia juga sering dihinggapi paranoid.”
“Biarlah, tak ada yang perlu dipermasalahkan lagi,” Papa Dara menjawab enteng.
“Maaf Nyonya, Tuan, saya menemukan ini dari kamar Non Dara,” Mbak Laima datang dan menyerahkan buku kecil yang terlihat seperti Diary.
Sabtu, 5 Maret 2013
Ini keputusanku, tak ada yang dapat merubahnya. Biarkan aku tenang. Biarkan aku sendiri. Aku tak butuh kalian, karena kalian membuangku! Entah kenapa, setiap kalian datang, setiap siapapun itu menemuiku, aku merasa Marsha dan teman-temannya ikut datang, ingin membunuhku. Dengan ini, aku tidak akan menyusahkan kalian lagi. Dan Marsha tidak perlu membunuhku lagi… Mama dan Papa.
Andara Marshella.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow Me

Follow The Author