Cerpen Karangan: Hendriyan Rayhan
Hari sudah larut malam dan begitu sepi. Sebagai seorang mahasiswa,
sudah menjadi kebiasaan tidur larut malam bersama tumpukan buku dan
segenap tugas yang akan segera deadline.
“Masih belum move on, nih”, sindir seorang teman ketika melihat layar laptopku.
“Hemm… Entahlah semakin buram”,
“Sudahlah, lupakan saja. Cari yang lain”.
“Tapi aku masih belum bisa membohongi hati. Perasaanku masih seperti
dulu. Meski telah banyak wanita yang singgah di hatiku. Namun ingatan
tentangnya selalu datang mencegahku dari berpaling”.
“Bertahan? Sementara tidak ada kejelasan. Hanya saling rindu diam-diam.
Saling cemburu diam-diam. Dan saling curiga dari kejauhan”,
“Hemm”, Aku hanya bisa membalas dengan senyum perkataanya itu.
“Senyummu tak seindah kisahmu”, balasnya dengan nada mencibir.
“Itu hanya soal waktu, senyum yang tertunda.”
Mungkin ada benarnya. Seolah menahan angin dengan jaring. Pertahanan
yang aku lakukan mungkin sia-sia. Entah benar-benar saling rindu atau
dia telah merindu yang lain. Entah benar-benar saling cemburu atau aku
hanya menyiksa diri sendiri dengan kekecewaan tak berarah.
Ingatanku melayang pada kejadian empat tahun silam. Ketika kata cinta
itu terucap dengan begitu indah. Peristiwa bersejarah dalam kisahku,
percakapan via telepon yang sangat lekat dalam memoriku.
“Aku pernah berjanji pada diriku”, kataku memulai bicara.
“Janji apa?”, jawab Ani dengan suaranya yang lembut di seberang sana.
“Kita telah lama bersahabat. Namun sebenarnya aku memiliki perasaan yang
lebih dari itu”, dengan melawan ragu kuucapkan kata-kata itu.
Aku yakin ia akan terkejut dengan kata-kata itu. Dia yang pernah
menyatakan hal yang sama dua tahun sebelumnya. Aku menyadari kesalahanku
saat itu yang pernah membuatnya sakit hati. Mungkin sangat wajar jika
saat ini ia berbuat lebih menyakitkan.
“Iya, sepertinya perasaanku masih seperti dulu”, jawabnya pelan setelah beberpa saat terdiam.
“Maaf An, aku mengatakan ini di saat yang tidak tepat. Saat di mana kita
akan berpisah terhalang jarak. Tetapi setidaknya aku telah memenuhi
janji pada diriku sendiri. Selanjutnya aku relakan segala keputusanmu.”
“Jika memang kita ditakdirkan bersama, jarak sejauh apapun kelak akan menyatukan dan mempertemukan kita, san.”
Itulah awal gantungnya kisah cinta ini. Kisah yang sangat kubenci.
Awalnya aku berfikir dengan itu akan membuatku tenang melupakannya. Akan
tetapi justru sebaliknya, perasaan cinta semakin melekat dan sulit
dilupakan. Dulu, ketika Ani mengucap kata cinta padaku, dengan bodoh aku
melukai hatinya. Kata-kataku malam itu memburam dan semakin buram empat
tahun lamanya. Seolah tak ada harapan tentang adanya titik temu tentang
rasa itu. Cerita yang tak kunjung memberi harapan jelas tentang
kebersamaan. Jarak yang kini semakin jauh seolah semakin menjauhkan
cintaku dengannya. Tetapi yang menyakitkan adalah perasaan ini tetap
menggelora dalam hati, sulit dihapuskan.
Seminggu terakhir hubungan komunikasiku dengan Ani semakin memburuk.
Biasanya setiap akhir pekan kusempatkan meneleponnya. Meskipun terkadang
kami hanya diam tanpa kata. Namun aku selalu berfikir positif, itulah
cinta. Sebenarnya hal seperti ini bukan pertama kali, sangat sering aku
dan Ani terlibat konflik yang tidak jelas asal muasalnya. Namun sekali
lagi aku berfikir positif, itulah cinta. Sampai kutulis dalam sebuah
status di Facebook:
“Dua insan sering terlibat konflik namun mereka tetap bersama, itulah cinta”.
Aku begitu senang ketika nama Ani masuk dalam daftar orang yang me-like
statusku itu. Namun perasaanku kembali murung ketika ia menulis status
lain.
“Karena rasa yang dulu hilang, tak mungkin kembali lagi seutuhnya”
—
Liburan pun tiba, saat yang sangat kutunggu untuk sejenak meupakan
tugas-tugas perkuliahan. Mencari ketenangan bersama keluarga di rumah,
dan kali ini aku bertekad untuk menemui Ani.
“Ani?”, tulisku dalam sebuah pesan singkat ketika hari pertamaku di rumah.
“Iya”. Balas Ani dengan jawaban yang begitu singkat. Saat itu aku mulai
pesimis. Apakah saat ini ia merasakan apa yang aku rasakan, batinku.
“Bisa ketemu”, tanyaku.
“Bisa, kapan?”, balasnya.
“Besok?”.
“Dateng ke rumah, ya”.
“Oke”, balasku dengan perasaan yang bercampur, antara senang dan
bingung. Senang karena aku dapat melepas rindu. Bingung karena aku tak
tahu apakah ini bentuk persahabatannya denganku atau seperti yang aku
rasakan.
Akhirnya saat yang sangat kutunggu tiba. Ani terlihat semkin cantik,
suaranya terlihat sangat indah. Melihatnya membuatku lupa banyaknya
waanita cantik di kampusku.
“Kamu semakin cantik”, kataku memulai pembicaraan dengan memujinya. Ia hanya membalas dengan senyuman.
Pembicaraan saat itu sangat mengesankan. Membuatku lupa dengan
keburaman-keburaman yang terjadi. Aku semakin bahwa ini merupakan tahap
awal dari senyum yang tertunda. Hampir satu jam kami berbincang, semua
kerindunku terlepas. Semua gelisahku seolah runtuh. Aku tak lagi
berpikir tentang perasaan, karena sikapnya cukup membuatku bahagia.
“An, kamu masih ingat, kan?”, kataku ketika hendak pamit.
“Iya, ini hanya soal waktu”, katanya dilanjutkan dengan senyum manis.
Hari itu sangat berarti dalam kisahku. Ucapannya seolah menjadi simbol
bahwa ia memiliki persepsi yang sama, tentang “Senyum yang Tertunda”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar