Cerpen Karangan: Emma Lini Rizky
Lolos moderasi pada: 30 June 2016
Gadis tersebut menumpukan dagunya pada kedua tangannya, ia tengah
mengamati seseorang dengan hikmat. Tanpa sadar seulas senyum terbit di
wajahnya dan kedua manik matanya tampak sangat berbinar. Jika seseorang
mengikuti arah pandang perempuan berambut kucir kuda tersebut, pastilah
mengerti siapa gerangan yang dipandangi gadis tersebut. Austin, cowok
yang di lehernya selalu menggantung kamera digital berwarna metalik.
Cowok yang selalu tersenyum sesaat sebelum menjepret suatu momen agar
terekam di kameranya. Cowok yang dikaguminya semenjak mereka masuk SMA
bersama.
Austin mendekat dan langsung memotret wajah si gadis, Beverly.
Beverly yang tersadar bahwa Austin menjepretnya secara candid langsung
mengomel dan wajahnya tersipu. “Austin, jangan mengambil fotoku secara
candid!!”
Mengamati hasil foto yang diambilnya, Austin tersenyum. “Foto candid adalah foto dengan ekspresi terjujur yang pernah ada.”
Beverly memutar kedua bola matanya, ia sudah terbiasa dengan
kata-kata mutiara yang selalu disemburkan Austin. “Ya, ya. Terserah.”
Pulang sekolah Beverly langsung melepas sepatu dan menuju kamar tanpa
berganti baju dahulu. Ia lekas mengutak-atik iPhonenya seakan apabila
ia tidak melakukannya sekarang juga maka nyawanya akan melayang.
Aplikasi pertama yang dicarinya adalah instagram, dan lekas saja Beverly
mencari akun Monochrome_Austin. Cewek ini tidak pernah absen memberi
tanda like pada semua foto Austin sekaligus mem-follow akun ini. Dan
dapat ditebak ketika Austin followback, Beverly langsung menjerit
histeris serta lari berkeliling rumah sehingga ibunya hanya dapat
menggeleng pelan.
Sembari mengamati layar ponsel, pikiran Beverly melayang dan
bertanya-tanya. Kenapa semua foto yang dipajang Austin selalu berwarna
hitam-putih? Nama akunnya pun terdapat kata “monochrome”, apa artinya
bagi Austin? Yah, meskipun begitu, menurut Beverly semua foto jepretan
Austin sangat bagus dan indah. Mungkin tidak semua yang hitam-putih
selalu membosankan. Terkadang suatu hal yang monochrome dapat
menyiratkan jutaan makna…
—
“Hei, Austin!” sapa Beverly keesokan paginya begitu tiba di kelas.
Austin yang tengah membersihkan lensa kameranya mendongak. “Aku pengin
bertanya sesuatu,” sambungnya seraya meletakkan tas di atas meja.
“Tanya apa?” balas cowok itu kembali berkonsentrasi pada kamera kesayangannya.
“Kenapa sih semua foto yang kamu upload di Instagram warnanya hitam-putih? Kok nggak warna-warni??”
Kali ini Austin menghentikan aktivitasnya, ia menatap Beverly dengan
serius dan tanpa sadar Beverly menahan napasnya. “Karena foto tetaplah
indah tanpa warna, aneka warna yang hilang tidak akan mengurangi esensi
keindahan itu sendiri.”
Sejenak gadis yang hari ini memakai bando putih tersebut tercengang,
kemudian ia langsung sadar kembali. “Wah, aku setuju! Kuakui, alasanmu
terlalu puitis, tapi mau tak mau aku setuju. Sekarang rasa penasaranku
sudah terpuaskan.”
Beverly mengulum senyum tulus dan takjub, rasa kagumnya pada Austin
makin bertambah. Sekarang sosok pria di hadapannya menjelma menjadi
seorang pangeran dari dunia impian, sosok yang selalu diimpikannya.
Austin yang eksentrik. Austin yang menarik. Austin yang berjiwa seni.
Austin yang segalanya! Tidak ada yang dapat mengukur kedalaman laut
perasaan Beverly pada Austin, bahkan gadis itu sendiri…
—
Seiris senyum muncul di wajahnya ketika cowok hobi fotografi tersebut
mempersiapkan kameranya. Ia teringat pertanyaan semua orang, “kenapa
semua foto yang kamu pajang warnanya hitam-putih?” dan dengan tenang
Austin selalu menjawab, “karena aneka warna yang hilang nggak akan
mengurangi esensi keindahan foto itu sendiri.”
Alasan sebenarnya bukan itu, meski Austin tidak sepenuhnya berbohong.
Semua gambar tersebut bernuansa monochrome karena Austin ingin semua
orang merasakan keindahan seperti dirinya merasakan keindahan. Cowok
bertubuh atletis itu mengalami buta warna, monokromatis tepatnya. Ia
hanya dapat melihat sekitarnya dengan dua warna dasar, yaitu hitam dan
putih dengan tingkat gradasi berbeda tentunya. Semakin cerah sebuah
warna, maka warna tersebut menyerupai putih dan sebaliknya.
Semenjak divonis demikian, kedua orangtua Austin selalu menatap iba
pada putranya. Namun Austin tidak pernah suka diperlakukan demikian. Ya
Tuhan, dia hanya tidak bisa melihat warna! Dan itu tidak membuat
nyawanya terancam. Jadi Austin berusaha menunjukkan pada semua orang
bahwa dia baik-baik saja dan bisa hidup bahagia meski memiliki
kekurangan.
“Biarlah sekitarku bernuansa monochrome, yang penting imajinasi dan
keindahan di otakku nggak monoton.” Itulah pegangan hidup Austin selama
ini.
Dengan penuh hikmat cowok penyuka warna putih itu mengarahkan lensa
ke arah langit dan mengambil gambarnya. Tidak selamanya warna hitam dan
putih itu membosankan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar