2captcha

2captcha

Minggu, 03 Juli 2016

Monochrome

Share it Please
Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 30 June 2016

Gadis tersebut menumpukan dagunya pada kedua tangannya, ia tengah mengamati seseorang dengan hikmat. Tanpa sadar seulas senyum terbit di wajahnya dan kedua manik matanya tampak sangat berbinar. Jika seseorang mengikuti arah pandang perempuan berambut kucir kuda tersebut, pastilah mengerti siapa gerangan yang dipandangi gadis tersebut. Austin, cowok yang di lehernya selalu menggantung kamera digital berwarna metalik. Cowok yang selalu tersenyum sesaat sebelum menjepret suatu momen agar terekam di kameranya. Cowok yang dikaguminya semenjak mereka masuk SMA bersama.
Austin mendekat dan langsung memotret wajah si gadis, Beverly. Beverly yang tersadar bahwa Austin menjepretnya secara candid langsung mengomel dan wajahnya tersipu. “Austin, jangan mengambil fotoku secara candid!!”
Mengamati hasil foto yang diambilnya, Austin tersenyum. “Foto candid adalah foto dengan ekspresi terjujur yang pernah ada.”
Beverly memutar kedua bola matanya, ia sudah terbiasa dengan kata-kata mutiara yang selalu disemburkan Austin. “Ya, ya. Terserah.”
Pulang sekolah Beverly langsung melepas sepatu dan menuju kamar tanpa berganti baju dahulu. Ia lekas mengutak-atik iPhonenya seakan apabila ia tidak melakukannya sekarang juga maka nyawanya akan melayang. Aplikasi pertama yang dicarinya adalah instagram, dan lekas saja Beverly mencari akun Monochrome_Austin. Cewek ini tidak pernah absen memberi tanda like pada semua foto Austin sekaligus mem-follow akun ini. Dan dapat ditebak ketika Austin followback, Beverly langsung menjerit histeris serta lari berkeliling rumah sehingga ibunya hanya dapat menggeleng pelan.
Sembari mengamati layar ponsel, pikiran Beverly melayang dan bertanya-tanya. Kenapa semua foto yang dipajang Austin selalu berwarna hitam-putih? Nama akunnya pun terdapat kata “monochrome”, apa artinya bagi Austin? Yah, meskipun begitu, menurut Beverly semua foto jepretan Austin sangat bagus dan indah. Mungkin tidak semua yang hitam-putih selalu membosankan. Terkadang suatu hal yang monochrome dapat menyiratkan jutaan makna…

“Hei, Austin!” sapa Beverly keesokan paginya begitu tiba di kelas. Austin yang tengah membersihkan lensa kameranya mendongak. “Aku pengin bertanya sesuatu,” sambungnya seraya meletakkan tas di atas meja.
“Tanya apa?” balas cowok itu kembali berkonsentrasi pada kamera kesayangannya.
“Kenapa sih semua foto yang kamu upload di Instagram warnanya hitam-putih? Kok nggak warna-warni??”
Kali ini Austin menghentikan aktivitasnya, ia menatap Beverly dengan serius dan tanpa sadar Beverly menahan napasnya. “Karena foto tetaplah indah tanpa warna, aneka warna yang hilang tidak akan mengurangi esensi keindahan itu sendiri.”
Sejenak gadis yang hari ini memakai bando putih tersebut tercengang, kemudian ia langsung sadar kembali. “Wah, aku setuju! Kuakui, alasanmu terlalu puitis, tapi mau tak mau aku setuju. Sekarang rasa penasaranku sudah terpuaskan.”
Beverly mengulum senyum tulus dan takjub, rasa kagumnya pada Austin makin bertambah. Sekarang sosok pria di hadapannya menjelma menjadi seorang pangeran dari dunia impian, sosok yang selalu diimpikannya. Austin yang eksentrik. Austin yang menarik. Austin yang berjiwa seni. Austin yang segalanya! Tidak ada yang dapat mengukur kedalaman laut perasaan Beverly pada Austin, bahkan gadis itu sendiri…

Seiris senyum muncul di wajahnya ketika cowok hobi fotografi tersebut mempersiapkan kameranya. Ia teringat pertanyaan semua orang, “kenapa semua foto yang kamu pajang warnanya hitam-putih?” dan dengan tenang Austin selalu menjawab, “karena aneka warna yang hilang nggak akan mengurangi esensi keindahan foto itu sendiri.”
Alasan sebenarnya bukan itu, meski Austin tidak sepenuhnya berbohong. Semua gambar tersebut bernuansa monochrome karena Austin ingin semua orang merasakan keindahan seperti dirinya merasakan keindahan. Cowok bertubuh atletis itu mengalami buta warna, monokromatis tepatnya. Ia hanya dapat melihat sekitarnya dengan dua warna dasar, yaitu hitam dan putih dengan tingkat gradasi berbeda tentunya. Semakin cerah sebuah warna, maka warna tersebut menyerupai putih dan sebaliknya.
Semenjak divonis demikian, kedua orangtua Austin selalu menatap iba pada putranya. Namun Austin tidak pernah suka diperlakukan demikian. Ya Tuhan, dia hanya tidak bisa melihat warna! Dan itu tidak membuat nyawanya terancam. Jadi Austin berusaha menunjukkan pada semua orang bahwa dia baik-baik saja dan bisa hidup bahagia meski memiliki kekurangan.
“Biarlah sekitarku bernuansa monochrome, yang penting imajinasi dan keindahan di otakku nggak monoton.” Itulah pegangan hidup Austin selama ini.
Dengan penuh hikmat cowok penyuka warna putih itu mengarahkan lensa ke arah langit dan mengambil gambarnya. Tidak selamanya warna hitam dan putih itu membosankan…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow Me

Follow The Author